SANG BURUNG SUDAH PERGI


 Aku sudah cukup lama berdiri di kayu ini, Teluk Sunda akhir-akhir ini semakin ramai. Beberapa minggu lalu aku terbang dengan teman-temanku. Menuju Teluk Jakarta hingga ke Bali. Beberapa temanku malah letih dan kecapekan. Yang terapung di laut bukan lagi karang ataupun kayu . Namun benda putih mengkilat, kadang seonggok benda yang berbau busuk.

"Tidak ada lagi ikan yang berenang ke permukaan", kata temanku.
"Tunggulah dan sabar!"  Mulut kami siap terbuka. 

Aku jenis burung yang mampu menyambar mangsa hingga kedalaman 5-6 meter. Kami burung yang didesain Tuhan mampu masuk ke dalam air laut. Namun masalahnya, tidaka ada  cumi-cumi, tidak ada plankton, tidak juga ikan , yang harus kami mangsa.  Aku heran kemana mereka pergi?

Dulu banyak sekali perahu nelayan, aku sering singgah di ujung perahu mereka. Sekedar melepas lelah atau menunggu mangsa. Aku pernah  bertemu gadis kecil cantik, berambut hitam legam, berkulit sawo matang. Ceria menemani seorang lak-laki separuh baya. Mereka berdua nampak kompak, menjala ikan, mengangkat ikan dari jala, makan bersama. Sudah lama aku tidak melihat gadis itu lagi. Gadis pemberani dan cekatan. Aku bahkan pernah, bertengger di tangannya. Dia sangat gembira, berusaha menahan tangannya untuk  tidak bergerak. Takut aku terbang. Aku berteriak keras , "Hai , gadis kecil, berbagi ikan dong!" Gadis itu seperti mengerti, dia ambil ikan hasil tangkapan ayahnya, dijulurkan kedepanku, sekejab ikan sudah pindah keperutku. Gadis itu tertawa bahagia. Itu dulu sekali.

"Kita lanjut saja terbang, aku letih menunggu," temanku mulai bersiap terbang.
"Sebentar!" aku bergerak cepat menyambar ikan kecil. Sedetik kemudian ikan kecil itu sudah berada di ujung paruhku.
"Cukup untuk kita berdua sobat," kami berbagi ikan kecil , lalu terus terbang.  Sepanjang laut yang kami lewati, bahkan di tepi pantai nampak berwarna gelap. Tidak lagi cerah.
Entah kenapa? tapi tidak apa, semusim lagi kami Burung Kokokan tetap akan melewati teluk ini lagi. Itulah takdir kami. 

*******

"Sudah cukup hari ini! kita akan segera pulang, ayo yang sudah selesei meletakkan barang, bantu teman-teman yang belum," suara Bu Rifa, menggelagar di telan suara hantaman ombak pantai. Aku dan teman-temanku, selalu membersamai Bu Rifa, memungut botol-botol  atau gelas-gelas plastik di sekitar pantai.  Kami rutin melakukan itu di hari senin pagi. Karena pengunjung pantai cukup ramai di hari libur, sabtu dan minggu. Mereka  menyisakan sampah-sampah plastik di sana-sini. Padahal tulisan,"Buanga Sampah ditempanya", ada hambit tiap 10 meter jalan pantai.

"Dit, nanti kita pulangnya bareng ya? sepedaku rusak," Mimi, temanku yang bertubuh tambun itu mendadak muncul disampingku. Tangannya memegang tas kresek warna merah besar yang penuh dengan botol plastik. Sejenak aku terpana, "Mi, kamu tumben dapat banyak banget!
Mimi tertawa, sambil terseok-seok menuju Bu Rifa. Aku menyusul hanya membawa satu kresek merah , itupun tidak penuh.  Kami semua ber-7. Bu Rifa membawa sepeda motor buntutnya untuk mengangkut sampah-sampah plastik kami. Sebagian juga kamu bawa, dengan sepeda. 

"Ayo, kita duluan!" Bono mengayuh sepeda besar hitam dengan lincah. Sepeda ukuran besar, yang kelihatan seperti menelan tubuh Bono yang mungil. Namun jangan di tanya, Bono sangat ahli dan piawai naik sepeda besar itu. Bahkan dengan beban berat di kanan kirinya. 

" Hati-hati Bon!" teriakku, namun Bonno sudah meluncur jauh.

"Ditta, Bu Rifa tunggu di rumah Bank Sampah ya, bantu Bu Rifa memilah-milah nanti," sejenak Bu Rifa menjalankan sepedanya dengan perlahan. Lalu segara naik dengan hati-hati. Celana training hitam Bu Rifa penuh pasir, namun bagi kami orang pantai, itu biasa.

Matahari sudah agak tinggi, satu jam lagi sudah tepat pukul 12.00. Kesibukan di bank sampah sudah hampir usai. Aku, Mimi dan beberapa teman lain, selesei memilah dan memilih jenis sampah. Botol mineral kami jadikan satu , beberapa bungkus snack kami sendirikan , bahkan Bu Rifa juga memilah tas kresek sesuai warna dan ukurannya. Sayang sekali, padahal plastik bekas snack itu bisa jadi bros cantik. Juga tas yang cantik lho. Bu Rifa mengajarkan itu semua pada kami. Aku sering kagum pada Bu rifa. Bisa juga buat payung, tas. Pokoknya seru!

Bank Sampah  tiap hari Minggu selalu ramai dikunjungi ibu-ibu sekitar desa kami. Mereka datang dan menyerahkan sampah plastik untuk di timbang. Bu Rifa adalah wanita yang luar biasa. Bu Rita mencatat setiap orang yang setor sampah. Mencatat di buku tabungan.   Tiap jenis sampah memiliki nilai rupiah sendiri-sendiri. Kebanyak para ibu hanya mengambil uang Bank Sampah saat hari Raya saja. Meskipun ada juga yang mengambil setiap minggu. Aku sendiri lebih suka mengambil setiap bulan. Kadang aku mendapat 50-100 ribu. Senang rasanya bisa membantu ibuku. Dari uang itu juga aku bisa sedikit menabung untuk membeli pensil, atau sekdear jajan dengan adik-adikku.

Oh ya, Bu Rifa adalah  guru kami di sekolah. kami semua adalah murid Bu Rifa di SDN Tunas Harapan. Bu Rifa sering bercerita tentang polusi laut. Kata Bu Rifa, laut itu tempat hidup ikan dan juga hewan-hewan lainnya. Kalau sampah sangat banyak begini, bisa merusak kehidupan hewan di laut. 

Karena itu Bu Rifa, mengajak seluruh penduduk desa untuk mengumpulakan sampah plastik. Lalu menyerahkan di Bank Sampah. Kami juga di ajak untuk membersihkan laut dari sampah. Pernah juga aku lihat beberap aktifis lingkungan , membersihakan laut dari sampah. Namun sampah sudah kelwat banyak. Tetap saja laut belum bersih seperti dulu.

" Ditta, nanti malam kita akan membuat tas cantik dari plastik," Kata Bu Rifa, sambil tangannya membereskan beberapa kantong sampah plastik dan kertas yang berserakan. 
"Ajak teman-temanmu ya! bawa beberapa bros  cantik , hasil karya kealian kemarin. Nanti kita kumpulkan jadi satu," Bu Rifa beranjak ke pintu. 
" Mi..kamu jadi bareng Ditta'kan?"
Mimi yang masih asyik dengan hitungan buku tabungannya terkaget, "Ya bu, jadi."
Bergegas Mimi masukan buku tabungan sampahnya ke dalam tas. 
"Ayo Dit...aku saja yang setir ya?"

Satu demi satu, mereka pulang. Bu Rifa memandangi mereka dengan bangga. Dari boncengan sepeda, aku melihat Bu Rifa, menutup pintu rumah Bank Sampah. 
"Mi, kalau kita bisa ajak semua teman untuk ambil sampah, pasti seru Mi?" 
"Jangan Dit, ntar kita cuma dapat sedikit?" ujar Mimi sambil terus ngayuh sepeda.
"Biar laut kita cepat bersih Mi, aku rindu mencari kerang, mancing ikan, nemani bapak nyebar galah di tepai pantai. " desakku. 
Mimi tiba-tiba berhenti, lalu diam sejenak. 
"Kamu benar Dit, dulu bapak biasa dapat ikan banyak sekali. Aku ikut bantu emak, jual ke pasar, tapi sekarang sudah sedikit ikan yang bisa di bawa pulang bapak," Mimi menunduk sedih. 
"Besok, kita bicara sama Bu Rifa, aku yakin Bu Rifa setuju."
"Oke, tarik Dit, aku da laper. Perutku sudah dandutan nih." Mimi terus mengayuh sepeda semakin kencang. Ditta berdiri merentangkan tangannya, sambil tertawa lepas.

*****
Rumah besar , sebagian dari kayu, berwarna biru cerah. Bersih dan indah dengan hiasan bunga di sekelilingnya. Aku merasa penat dan letih. Aku letakkan buku catatan Bank Sampah di lemari kamarku. Sudak ada 42 anggota Bank Sampah. 7 diantaranya muridku sendiri. Perjalanan masih panjang. 
"Sudah pulang Rifa?" suara ibu terdengar dari dalam. Wanita berusia 65 tahun itu cekatan, membuat teh manis, menyiapkan makan siang kami berdua. 
"Tidak usah repot-repot ibu, biar Rifa saja yang menyiapkan", teriakku dari dalam kamar mandi. Aku bergegas ke kamar, ganti baju, segera ke dapur membantu ibu. 
"Jangan memaksakan diri, Laut itu luar Rifa. Kamu tidak mungkin bisa seorang diri menbersihkan sampah dilaut. " 
"Ibu tenang saja, usaha Rifa tidak akan sia-sia, mulai banyak yang datang setor sampah ke Bank Sampah ibu,"
"Alhamdulillah, ibu ikut senang!"
"Rifa hanya ingin petugas di laut, sungguh-sungguh membuat aturan yang melarang pengunjung atau penduduk sekitar pantai membuang sampah di pantai." 
Ibu tersenyum dengan arif.
"Rifa rindu burung laut. Burung laut Kokokan yang selalu mengingatkan Rifa pada ayah." Aku berjalan ke samping ibu, memeluk lengan ibu yang kokoh. 
"Burung laut selalu membuat Rifa kangen ayah. "
Ibu tersenyum, tanganya yang mulai keriput, mengelus rambut anak gadis semata wayangnya. 
"Suatu saat Burung laut itu akan kembali, jika seluruh manusia seperti kamu nak." ujar ibu tersenyum.
Rifa menatap ibu bangga. Sambil mengangguk mantap. Ya...Burung laut itu akan kembali. Tanda bahwa lautku sudah sehat dan bersih, batin Rifa bahagia. 


Malang 30 Juli 2021



Komentar

  1. Bu, penasarin nih dengan Burung Kokokannya. Btw, cerita yang mengalir syahdu.

    BalasHapus
  2. He..he,..he... bikin contoh cerpen nih Bu Tiwi..

    BalasHapus
  3. MasyaAlloh..luar biasa Bu Diyah..πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  4. Heheheee aku lupa baru baca yang burung soalnya lagi proses membuat carita lagi
    😁

    BalasHapus
  5. π”Ήπ•’π•˜π•¦π•€ 𝕓𝕦 π•žπ•’π•’π•— 𝕓𝕒𝕣𝕦 𝕓𝕒𝕔𝕒 𝕙𝕖𝕙𝕖 𝕨𝕒π•₯𝕀𝕒𝕑𝕑 π•Ÿπ•ͺ𝕒 𝕓𝕒𝕣𝕦 π••π•šπ•‘π•–π•£π•“π•’π•™π•’π•£π•¦π•š

    BalasHapus
  6. Bagus bu hehe😎 maaf telat liat soalnya wa-nya ngak Nadine baca soalnya lagi main game πŸ˜†πŸ˜„

    BalasHapus
  7. Suka dgn kutipan..' suatu saat burung laut itu akan kembali jika ada banyak Rifa lainnya

    BalasHapus
  8. Burung kokokan yang malang jika laut kita yg tercemar tidak pulih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGATASI WRITER'S BLOCK

MATSAMA 2021-2022 : TUNJUKAN TARING (Tangkas dan Ringkas) dan TAMANmu (Tanggungjawab dan Iman) MELALUI DARING.

MEMBONGKAR RAHASIA MENULIS HINGGA MENERBITKAN BUKU